Oleh : Budi Kurniawan
Swastani dan Pelayanan Publik
Setiap negara-bangsa pasti memiliki tujuan dan cita-cita mulia untuk mensejahterakan warga negaranya dan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan warga negaranya. Demikian pula halnya dengan Indonesia, tujuan nasional kita sebagaimana termaktub dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 adalah merupakan visi dan misi dasar kita dalam berbangsa. Dalam pencapaiannya tentu menjadi tugas Negara dan Pemerintah untuk menjamin tercapainya tujuan bernegara tersebut.
Dewasa ini konsep negara kesejahteraan (welfare state) mendominasi perkembangan konsep negara hukum. Konsep ini lahir sebagai reaksi kegagalan konsep negara penjaga malam (Nachtwachker). Paham welfare state lahir pada abad ke-20, konsep ini memandang bahwa negara mempunyai kewajiban dan menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut kepentingan ekonomi, sosial, budaya, hukum, pendidikan, maupun kepentingan politik.
Sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan kemasyarakataan, maka pekerjaan pemerintah semakin luasa dan banyak. Menyikapi pekerjaan pemerintah yang semakin luas, banyak negara di dunia menempuh jalan memberikan sebagian tanggung jawabnya pada swasta dengan melakukan privatisasi. (M. Reza Naufal, konsep privatisasi di Indonesia, Jurnal Magister Hukum, FH-UI, 2021)
Dalam konsepsi negara demokrasi modern, pencapaian tujuan negara merupakan upaya bersama seluruh komponen negara, tidak hanya pemerintah semata, namun komponen swasta dan masyarakat sipil juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam konteks pencapaian tujuan negara. Namun demikian tentu ada pembatasan tentang bagaimana peran swasta dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan pemerintahan.
David Osborne dan Ted Gaebler dalam karyanya “Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit Is Transforming the Public Sector” menyatakan bahwa, pelayanan dapat dikontrakkan atau dialihkan ke sektor swasta, tetapi tidak kepemerintahannya (governance).
Menurutnya peran pemerintah terdapat 10 prinsip dasar yang seharusnya dijalankan dan menjadi satu dalam sistem pemerintahan, sehingga pelayanan publik dapat berjalan lebih optimal yakni (1). Pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh (2). Pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani (3). Pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. (4). Pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. (5). Pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan. (6). Pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi. (7). Pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan. (8). Pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati. (9). Pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja. (10). Pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar.
Pergeseran paradigma (shift paradigm) tentang fungsi pemerintahan ini membawa konsekwensi logis lahirnya konsepsi baru tentang bagaimana pemerintah bekerja. Karena pemerintah bukan lagi aktor tunggal, maka konsep kolaborasi dan sinergi menjadi faktor penting untuk menjalankan fungsi pemerintahan, salah satunya adalah pelibatan sektor swasta.
Beberapa pertimbangan dasar mengapa kemudian swasta dilibatkan dalam konteks pelayanan publik, (1) fleksibilitas, organisasi swasta lebih fleksibel daripada organisasi publik sehingga bisa fokus pada area kerja tertentu (2) kompetensi, organisasi swasta selalu mengandalkan kompetensi anggota organisasinya dan organisasi swasta memiliki keahlian yang spesifik sesuai area kerja organisasinya (3) orientasi pada hasil kinerja organisasi swasta lebih mudah diukur karena organisasi swasta selalu berorientas pada pencapaian hasil dari target yang telah ditetapkan organisasi. (4) Efesiensi. Karena orientasinya pada hasil, organisasi swasta selalu mengedepanan efesiensi untuk mendongkrak kinerja organisasinya.
Saat ini dimana dunia memasuki era globalisasi dan digitalisasi yang ditandai dengan kondisi VUCA (vulnerability, uncertainty, complexity, ambiguity) menuntut kedinamisan dan kecepatan pemerintah dalam mengambil kebijakan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat, karena apabila tidak, maka pemerintah akan semakin ditinggalkan rakyatnya yang akan bermuara pada menurunnya public trust dari rakyat kepada Pemerintah.
Beberapa negara didunia sudah menjalankan konsep ini sejak lama, sebut saja Inggris yang sejak tahun 80-an memprivatisasi pelayanan publik dinegaranya seperti layanan kereta api, penerbangan bahkan pengelolaan sumberdaya alam melalui privatisasi British Petroleum.
Demikian juga halnya dengan Singapura, beberapa “pekerjaan” pemerintah juga sudah dilaksanakan oleh sektor swasta seperti bidang penyiaran, utilitas dan listrik yang diakuisisi oleh Temasek Holding Company bekerjasama dengan lembaga Pemerintah Singapura (Government Invesment Corporation). Pertimbangannya bukan hanya sekadar menambah pendapatan negara tetapi yang lebih utama adalah efesiensi. (Angela Cummine, Oxford University, How Temasek has driven Singapore’s Development, 2015).
Di Australia, model privatisasi layanan publik dibagi kedalam 6 skema yakni : (1) Divestasi : Penjualan layanan publik kepada industri swasta. Ini adalah salah satu metode privatisasi yang paling sederhana, yaitu seluruh aspek aset pemerintah dijual kepada pembeli swasta. (2) Penarikan : Pemerintah tidak lagi menyediakan layanan dan mengizinkan penyedia swasta untuk masuk. Oleh karena itu, ia menarik diri dari ruang publik dan membiarkan pasar mengisi kekosongan tersebut. (3) Pengalihdayaan : Pemerintah, melalui perjanjian kontrak, menyerahkan fungsi-fungsi non-inti suatu layanan kepada “penyedia layanan swasta untuk memberikan layanan kepada publik.” (5) Divestasi terkontrol: Menyewakan atau menjual aset publik kepada sektor swasta, namun pemerintah mempunyai kendali atas mekanisme pengaturan aset swasta. (6) Kemitraan pemerintah-swasta (KPS): Pembiayaan infrastruktur oleh swasta, melalui perjanjian dengan perusahaan swasta. Contohnya adalah proyek west connex di Sydney di mana pemerintah mengimbangi risiko pembangunan ke Transurban (sebuah perusahaan swasta) yang juga menghilangkan beban akumulasi utang pemerintah. (Aulich, Chris ; O’Flynn, Janine (2007). Dari Publik ke Swasta: Pengalaman Privatisasi Australia. Jurnal Administrasi Publik Asia Pasifik).
Di Indonesia sebenarnya konsep swastanisasi pelayanan publik dikenal sudah lama hanya belum banyak dipraktekkan serta terbatas sektor tertentu saja. Pemerintah Kota Surabaya misalnya menjalin kemitraan dengan swasta yakni PT. Sumber Organik (SO) dalam hal pengelolaan sampah. Mekanisme yang digunakan adalah mekanisme BOT (bulid-operation-transfer) dimana pihak swasta diberikan hak kelola selama 20 tahun.
Alasan Pemerintah Kota Surabaya melakukan hal ini, karena Pemkot Surabaya mengakui memiliki keterbatasan kompetensi dalam pengelolaan sampah, sementara disatu sisi volume sampah perkotaan yang terus meningkat dari tahun ketahun.
Hendrysan Krisna Kurniawan, Studi deskriptif Public Private Partnership pengelolaan sampah di TPA Benowo Kota Surabaya Jurnal Kebijakan dna Manajemen Publik, FISIP UNAIR, 2016).
Belakangan ini konsep swastinsasi pelayanan publik melalui skema public and private partnership kembali mengemuka khususnya pada program strategis pemerintah sebagai contoh pembangunan Ibukota Nusantara. Pembangunan IKN yang diperkirakan menelan biaya lebih dari 400 triliun rupiah tentu tidak mungkin hanya disandang oleh Pemerintah sendiri.
Karenanya skema pembiayaan melalui konsep creative financing yang dikenal dengan nama kerjasama pemerintah dan badan usaha (KBPU). KBPU proyek pemerintah juga sudah berjalan misalnya proyek Palapa Ring dengan nilai lebih dari 8 Triliun rupiah dan proyek SPAM (sistem penyediaan air minum) Umbulan dengan nilai proyek sebesar 4,9 Milyar rupiah. (Zaki Fernando, Skema KBPU dan Perannya dalam membangun IKN, Kemenkeu RI, 2022)
Pembangunan IKN juga mendorong swasta murni untuk berpartispasi dengan berbagai macam model skema kerjasama. Kepala Otorita IKN sendiri menyatakan bahwa kurang lebih ada 10 perusahaan swasta yang berinvestasi di IKN dengan nilai investasi lebih dari 20 Triliun rupiah.
Batasan keterlibatan sektor swasta di sektor publik
Secara ideal memang penyediaan layanan bagi masyarakat adalah tanggung jawab pemerintah karena sejatinya Pemerintah dibentuk untuk melayani warga negara dan memenuhi kebutuhan dan keinginan warga negaranya dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.
Dalam memenuhi kewajiban itu bisa saja pemerintah mengalihkan pelaksanaan operasionalnya kepada swasta, hanya ada beberapa batasan yang harus dipatuhi. Pengelolaan pelayanan publik bisa dilakukan oleh pihak swasta namun pemerintah tetap harus memiliki kendali atas pengelolaan itu oleh pihak swasta, jika tidak maka roh pelayanan publik yang ditujukan untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat akan hilang.
Tujuan utama layanan publik adalah memberikan layanan kepada publik untuk melindungi utilitas sosial yang penting dari ketidakstabilan kapitalisme dan menghindari dampak sosial yang negatif. Pelayanan publik harus bersifat demokratis, jika suatu layanan gagal memenuhi kebutuhan warga negaranya, maka kepercayaan politik rakyat akan turun. Pelayanan publik dibiayai dari uang rakyat, dari pajak yang dipungut daru rakyat dan penghasilan negara lainnya, sehingga harus bisa memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahateraan rakyat. (Kerry-anne Mendoza, Trying to run public service like a bussiness will never work, The Guardin, 2015)
Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 juga menyatakan bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Artinya adalah, bahwa tidak semua hal bisa diprivatisasi/swastanisasi, namun ketika terkait dengan hajat hidup rakyat banyak, negara harus tetap memegang peran utama.
Beberapa jenis layanan publik yang tidak dapat diserahkan negara kepada pihak swasta adalah (1) layanan yang sifatnya mengatur (regulatory service) dan menjadi kewajiban warga negara. Misalnya pembuatan dan penerbitan dokumen kewarganegaraan, dokumen kepemilikan (2) layanan yang berhubungan dengan pertahanan dan keamanan negara (3) layanan berpengaruh terhadap kedaulatan negara (4) layanan strategis yang berkaitan dengan kebutuhan dasar warga negara.
Tantangan Swastanisasi
Swastanisasi dalam skema apapun entah itu skema public private partnership atau skema full private ataupun skema lainnya memiliki tantangan tersendiri. Hal ini karena memang swasta memang memiliki keunggulan dibanding Pemerintah. Namun demikian, peran swasta yang terlalu besar dalam sektor publik juga bisa membawa dampak negatif apalagi jika dikaitkan dengan tugas negara yang menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara untuk meningkatkan kualitas hidup warga negaranya.
Tantangan swastanisasi pelayanan publik setidaknya dapat dipahami dari beberapa aspek berikut (1) Komersialisasi pelayanan publik. Pengelolaan pelayanan publik oleh swasta bisa mengakibatkan munculnya komersialisasi pelayanan publik karena basis dasar swastanisasi adalah kapitalisme. Jika kemudian negara betul-betul absen dalam pengelolaan pelayanan publik, maka pelayanan akan menjadi sangat komersial. Siapa yang mampu bayar lebih banyak akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik, tapi siapa yang tidak punya uang maka jangan harap mendapatkan pelayanan yang baik.
Sejatinya negara wajib menghadirkan pelayanan ke ruang publik yang menjadi hak warga negara tanpa diskriminasi karena semua warga negara punya hak yang sama, oleh karena itu jika negara absen dan menyerahkan sepenuhnya pelayanan kepada swasta.
maka yang terjadi adalah pengabaian hak rakyat sebagai warga negara. (2) Orientasi pada profit. Organisasi swasta apapun bentuknya pasti berorientasi pada keuntungan (profit), entah itu untuk kepentingan publik atau bukan. Profit oriented akan mengabaikan fungsi sosial yang harusnya menjadi roh pelayanan publik yang dijalankan oleh negara.
Semua warga negara tentu tidak sama status dan kedudukan sosialnya, oleh karena itu negara dan pemerintah harus hadir untuk menjembatani dan memenuhi hal itu tanpa harus membeda-bedakan warga negaranya. (3) Spirit of competitiveness (semangat persaingan). Ciri utama dari swasta adalah competitiveness. Persaingan ini akan melahirkan kualitas karena yang tidak bersaing tentu akan hilang dan tenggelam.
Dalam konteks persaingan ini, swasta cenderung mengerahkan segala macam sumber daya yang dimiliki termasuk melakukan praktek lobbying dengan pemerintah untuk mendapatkan bagian dari “pekerjaan” pemerintah. Hal ini melahirkan konsep relasi kuasa antara penguasa dan pengusaha. Konsep relasi kuasa ini tentu tidak sehat dalam konteks semangat fair competitiveness yang ujung-ujungnya melahirkan perilaku koruptif. Apalagi jika relasi kuasa diarahkan untuk menjamin stabilitas kekuasaan tentu akan melahirkan konsekwensi negatif dan kontraproduktif terhadap peningkatan kualitas pelayanan publik.
Penutup
Melibatkan swasta dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah sebuah kenicayaan, karena negara tidak dapat melaksanakan pekerjaan yang menjadi mandat rakyat sendiri. Kolaborasi dan sinergi antara pemerintah, swasta dan masyarakat sipil adalah kata kunci utama untuk menjamin terlaksananya tugas negara dalam memenuhi hak-hak warga negara. Namun demikian kolaborasi dan sinergi tersebut harus tetap dapat menjamin setiap warga negara bisa terpenuhi hak-haknya dan bisa meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraanya tanpa ada dibedakan antara satu dengan yang lainnya, karena sejatinya itulah tujuan pembentukan sebuah negara.