Oleh : Budi Kurniawan
Birokrasi dan Digitalisasi
Terinspirasi dari film fiksi ilmiah Minority Report yang dibintangi oleh Tom Cruise yang dirilis pada tahun 2002 yang menggambarkan sebuah fenomena dimasa depan dimana lembaga kepolisian di masa depan bisa mencegah terjadinya sebuah tindak kejahatan bahkan sebelum itu terjadi.
Dengan menggunakan artificial intelegence (AI) yang mempelajari tingkah laku manusia yang kemudian dimasukkan dalam algoritma sistemik yang dipandu oleh AI, pelaku tindak kejahatan bisa dicegah bahkan pada saat hanya masih sebatas niat untuk melakukan kejahatan.
Kemampuan menterjemahkan perilaku manusia oleh AI dimasa depan akan menjadi sebuah keniscayaan yang akan berdampak besar bagi organisasi pemerintah dan birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada publik.
Memasuki era digitalisasi 4.0 saat ini birokrasi pemerintah dituntut lebih gesit dan lebih flexible menghadapi 4 ciri perubahan saat ini yakni vulnerability, uncertainty, complexity dan ambiguity (VUCA). Yang sedikit banyak membawa peralihan paradigma (shift paradigm) pemahaman kita tentang eksistensi birokrasi.
Dalam konsepsi klasik, birokrasi yang dikenalkan oleh Max Weber menggambarkan birokrasi adalah sebuah official dom (kerajaan para administrator) dengan ciri utama yakni (1) ada standar dan aturan yang baku (rules of conduct) tentang otoritas birokrasi, tugas pokok, fungsi dan metode (official duties) (2). Ada prinsip hirarki dan level kewenangan dalam struktur birokrasi (3). Ada mekanisme penatausahaan administrasi yang terukur, teratur dan sistematis (4). Penyelenggara birokrasi yang terspesialisasi serta memiliki keahlian yang dibutuhkan organisasi birokrasi (5). Ada kepatuhan dan integritas penyelenggara birokrasi terhadap rules of conduct untuk menjamin birokrasi berjalan efektif. (Max Weber, Bureaucracy : Essays in Sociology, 1946).
Birokrasi seperti diibaratkan sebagai sebuah kapal besar yang didalamnya sarat dengan penumpang dan aktivitas formalitas namun relatif kurang gesit dan fleksible ketika menghadapi gelombang di lautan yang tidak pernah bisa diprediksi. Saat ini birokrasi dituntut tidak lagi hanya menjalankan bussiness as usual, tapi jauh lebih dari itu, lompatan-lompatan kinerja birokrasi dituntut harus lebih mampu menjawab tantangan globalisasi dan digitalisasi.
Bagaimana dengan Indonesia ? menurut Eko Prasodjo (2021), karakteristik birokrasi Indonesia saat ini pada dasarnya masih berada pada level Governance 1.0 yang ditandai dengan orientasi politik yang masih tinggi, tumpang tindih berbagai program dan kegiatan antar instansi, dan berbagai proses bisnis yang manual dan terfragmentasi. (Prof. DR. Eko Prasodjo, Mag.rer.publ, Membangun birokrasi digital, FIA-UI, 2021).
Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap efektivitas birokrasi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Bank Dunia tahun 2021 misalnya membeberkan fakta bahwa nilai Government Effectiveness Index (GEI) di Indonesia sebesar 0,38 atau masuk di peringkat 61 dari 191 negara di dunia.
Nilai ini jauh dibawah negara tetangga seperti Malaysia peringkat 36 apalagi Singapura yang menduduki peringkat pertama di dunia dengan index 2,29. Studi ini mengukur kinerja pemerintah dengan 10 indikator yakni (1) control of corruption (2) regulatory quality (3) voice and accountability (4) . political stability (5) Corruption perception (6) political rights (7) civil liberties (8) competitiveness (9) cost of starting bussiness (10) shadow economy. (theglobaleconomy.com, 2022).
Peringkat Indonesia dalam GEI 2022
Sumber : theglobaleconomy.com,2022
Memang ada progress kemajuan nilai government effectiveness index Indonesia dari tahun ke tahun namun nilainya masih relatif kecil dibanding negara-negara lain didunia.
Sumber : theglobaleconomy.com,2022
Tantangan terbesar dalam membangun birokrasi digital adalah kapasitas SDM, penguasaan teknologi informasi dan disparitas data. Badan Kepegawaian Negera (BKN) menerbitkan rilis pada tahun 2022 mencatat setidaknya terdapat 4.254.513 ASN yang terdiri dari PNS sebanyak 3.890.579 orang dan 363.934 orang PPPK. Kelompok usia terbanya berada pada rentang usia 51-60 tahun (38%), 41-50 tahun (24%), 21-30 tahun (7%), 18-20 tahun (0,02%) dan diatas 60 tahun (0,93%). Jika dilihat dari tingkat pendidikannya memang jumlah ASN terbanyak berada pada level pendidikan S1-S2 (66%).
Sumber : BKN RI, 2022
Artinya jika dilihat aspek pendidikan SDM, birokrasi Indonesia punya peluang untuk dikembangkan ke arah smart ASN (Alih Aji Nugroho, Smart ASN dan Digital Bureaucarcy, Sebuah transformasi pelayanan publik, 2021).
Namun demikian menuju kearah digitalisasi, kuantitas aparatur tidak lagi menentukan. Efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan tidak lagi ditentukan seberapa banyak pegawai yang bekerja namun seberapa efektif mereka bekerja karena sisanya akan diambil alih oleh teknologi.
Digitalisasi birokrasi akan mengambil alih peran manusia dalam pekerjaaan rutin dan formal misalnya pekerjaan administratif, pelayanan masyarakat bahkan kemampuan menganalisa. Berkat bantuan teknologi artificial intelegence kemampuan analisa dimasa depan juga akan diambil alih oleh teknologi.
Kita melihat kecenderungan yang terjadi saat ini khususnya di organisasi swasta, bagaimana kemudian mereka mengembangkan pola layanan berbasis digital dan elektronik, layanan perbankan misalnya. Transaksi dan layanan perbankan sekarang betapa mudahnya dilaksanakan hanya melalui smartphone android semua transaksi keuangan bisa kita lakukan dimana saja dan kapan saja.
Tidak hanya itu, di organisasi pemerintah, beberapa kementerian dan lembaga juga sudah mengembangkan pola digitalisasi dalam pemberian pelayanan kepada publik. Kemendagri misalnya sudah mengembangkan KTP digital yang berbasis pada QR Code, Kemekumham juga mengembangkan Passport Digital sehingga ketika kita berpergian keluar negeri tidak perlu lagi membawa paspor cukup dengan smartphone saja.
Tantangan Digitalisasi Birokrasi
Diatas sudah disebutkan bahwa salah satu tantangan terbesar digitalisasi birokrasi adalah kuantitas dan kualitas ASN. Secara kuantitas ASN kita sudah terlalu banyak sehingga menghambat fleksibilitas organisasi pemerintah. Belum lagi struktur organisasi pemerintah yang dinilai terlalu gemuk sehingga menyebabkan organisasi pemerintah menjadi lamban bergerak.
Jika kemudian birokrasi bergerak kearah digitalisasi dimana sebagian besar bussiness process pemerintah diambil alih oleh teknologi atas nama efesiensi dan efektivitas, lalu mau dikemanakan ASN yang ada saat ini dan nanti.
Demikian pula halnya dengan penataan organisasi pemerintah. Digitalisasi birokrasipun pada akhirnya akan menuntut penyederhaan (simplicity) organisasi dan bussines process di pemerintah.
Di era digital, keberadaaan organisasi pemerintah hanya akan lebih banyak bergerak pada aspek perencanaan strategis (strategic planning), pengaturan (regulatory) dan pengawasan (control), sedangkan pada tataran pelaksanaan dan penyelenggaraan (bussines process) akan beralih ke digitalisasi, padahal saat ini di aspek inilah ASN kita mayoritas bekerja.
Tantangan ini harus dijawab dan disiapkan oleh Pemerintah saat ini, karena ditahun 2045 tepat pada saat Indonesia memasuki usia 100 tahun, berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik jumlah angkatan kerja akan mencapai 65,20% atau sebanyak 207,99 juta jiwa dari total jumlah penduduk Indonesia tahun 2045 sebanyak 318,96 juta (katadata.co.id). Ini adalah bonus demografi bagi Indonesia yang jika tidak disiapkan saat ini bisa menjadi bencana demografi (M. Ma’ruf Amin Wapres RI, Pidato saat Harlah PMII, 2022).
Selain tantangan rasionaliasi dan reorganisasi, digitalisasi birokrasi juga menghadapi tantangan terkait fragmentasi data dan sistem. Ciri utama birokrasi digital adalah terdapat metadata dan bigdata sebagai basis awal bekerjanya birokrasi digital. Metadata dan Bigdata adalah source code bagi sebuah sistem digital dapat bekerja. Oleh karenanya integrasi basis data yang sama menjadi mutlak diperlukan agar birokrasi digital dapat bekerja.
Prof. Eko Prasodjo menyatakan bahwa saat ini banyak Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah membuat berbagai macam aplikasi dengan beragam sumberdata yang berbeda baik substansi maupun indikator pengukurnya. Beragamnya data yang ada saat ini menyebabkan sulitnya membangun sistem birokrasi digital yang terintegrasi antar berbagai instansi pemerintah.
Disamping itu, pola alih daya (outsourcing) yang menjamur dalam pembuatan berbagai aplikasi dan pemeliharaannya menyebabkan potensi ancaman kedaulatan dan keamanan data, karena rawan kebocoran oleh pihak ketiga, di samping tentu saja ketergantungan yang tinggi kepada pihak ketiga. Masalah lainnya adalah pemanfaatan teknologi yang masih terfragmentasi.
Banyak sekali aplikasi yang dibuat K/L/pemda untuk berbagai macam keperluan penyelenggaraan pemerintahan. Tentu saja ini juga menimbulkan duplikasi dan kesulitan untuk mengintegrasikan penyediaan layanan. Untuk sistem kepegawaian saja, misalnya, saat ini terdapat lebih kurang 27.000 aplikasi dan database kepegawaian yang tersebar di 2.700 ruang server milik pemerintah. (Prof. DR. Eko Prasodjo, Mag.rer.publ, Membangun birokrasi digital, FIA-UI, 2021).
Di beberapa negara pengelolaan data untuk digital government diampu oleh lembaga tersendiri. Di Swedia misalnya terdapat lembaga Agency for Digital Government, di Amerika Serikat dikenal dengan lembaga United States Digital Services (USDS), di Australia ada Australian Digital Transformation Agency dan banyak lembaga lainnya yang dibentuk negara untuk mentransformasi data dan kebijakan birokrasi digital.
Salah satu tugas lembaga inilah adalah mengintegrasikan berbagai macam data, sistem dan aplikasi yang kemudian dijadikan dasar untuk mendigitalisasi birokasinya sehingga menjadi satu data dan satu sistem yang dapat diakses oleh lembaga pemerintah dan lembaga lain yang ditunjuk pemerintah maupun masyarakat luas.
Masa Depan Birokrasi
Digitalisasi birokrasi adalah sebuah tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dimasa depan. Mau tidak mau, suka tidak suka harus kita hadapi. Penjelasan diatas menyiratkan bahwa menghadapi era digitalisasi 4.0 yang berciri adanya kondisi VUCA, birokrasi dituntut untuk melakukan perubahan yang revolusioner.
Mindset birokrasi harus dirubah bukan lagi mindset neofeodal dan weberian bureacracy. Birokrasi bukan lagi sebagai kapal besar yang kaku dan dogmatis, tetapi birokrasi adalah kapal kecil yang dinamis, kuat dan lincah melawan arus dan gelombang ketidakpastian.
Dalam konsep negara modern (modern state) Birokrasi akan tetap menjadi mesin penggerak utama dalam melaksanakan dan tugas-tugas politik negara untuk mencapai tujuan bernegara serta mendeliver pelayanan publik kepada setiap warga negara.
Oleh karena itu birokrasi harus mampu beradaptasi dengan cepat menyikapi perubahan saat ini. Berbagai kebijakan untuk rasionalisasi, reorganisasi dan restrukturisasi serta penyiapan infrastruktur digital (data dan sistem) menjadi point penting dalam rangka menyiapkan birokrasi kearah digitalisasi. Konsekwensi dan resiko terhadap kebijakan dan langkah yang diambil pasti ada, namun kemampuan birokrasi untuk mengelolanya juga harus menjadi perhatian. Semua hal akan berubah, yang abadi hanya perubahan itu sendiri.
———–
Daftar Pustaka
Max Weber, Bureaucracy : Essays in Sociology, 1946
Prof. DR. Eko Prasodjo, Mag.rer.publ, Membangun birokrasi digital, FIA-UI, 2021
Alih Aji Nugroho, Smart ASN dan Digital Bureaucracy : Sebuah Transformasi Pelayanan Publik
https://www.theglobaleconomy.com/rankings/wb_government_effectiveness/