Oleh : Budi Kurniawan
Kenapa harus ada status sosial? Dalam sejarah peradaban manusia, status sosial memegang peranan penting dalam membentuk struktur dan sistem sosial di masyarakat.
Di beberapa kebudayaan dan peradaban bahkan dicirikan dan disimbolkan secara ekstrem yang sangat kental mewarnai seluruh aspek kehidupan masyarakat seperti sosial, ekonomi, politik, budaya.
Mengutip Sauder, Michael; Lynn, Freda; Podolny, Joel dalam 2012). “Status: Insights from Organizational Sociology,” mendefinisikan bahwa “social status is the level of social value a person is considered to hold” (Status sosial adalah tingkatan nilai sosial seseorang yang disandangnya).
Lebih khusus lagi, ini mengacu pada tingkat relatif mengenai derajat kehormatan dan ukuran kompetensi tertentu yang dinilai berdasarkan nilai-nilai yang diakui sistem sosial masyarakat yang menunjukkan kedudukan seseorang atau kelompok masyarakat dalam sistem sosial di masyarakat itu.
Kenapa dikatakan relatif, karena pengakuan terhadap nilai-nilai sosial di masyarakat bisa berbeda antar sistem sosial yang satu dengan yang lain. Nilai-nilai sosial tersebut bisa berupa genelogis, kekayaan dan kepemilikan pribadi/kelompok, intelektualitas, etnis, ras, gender, keyakinan, kewibaan dan aspek kompetensi lainnya yang diakui dalam sebuah sistem sosial yang terkadang diberi simbol² tertentu sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan.
Status sosial pada akhirnya akan memunculkan kelas sosial dan strata sosial (Max Weber, 1946. “Class, Status, Party.”) dimana masing-masing levelnya punya otoritas tertentu untuk memanfaatkan sumberdaya baik ekonomi, sosial, politik maupun budaya yang digunakan untuk menjaga status sosialnya agar tidak turun kelas.
Dalam konteks saat ini status sosial sudah menyebar sampai kepada perilaku dan gaya hidup, bahkan orang-orang rela menempuh berbagai cara untuk mengkatrol status sosialnya dan memperoleh simbol² baru sebagai bentuk pengakuan masyarakat.
Misalnya gelar “sultan”‘ atau “crazy rich” untuk orang kaya baru yang entah mendapatkan kekayaannya darimana, atau orang² yang menghambur gelar akademik berderet² agar terlihat “seolah-olah” intelek padahal tidak jelas juga kapasitas akademik dan keilmuannya serta cara memperolehnya atau orang yang pamer harta, kekuasaan, pangkat dan jabatan untuk menunjukkan eksistensinya atau bisa juga menggunakan simbol² agama, adat dan budaya untuk memperoleh pengakuan derajat kewibaan, ketaatan dan kesalehan.
Eksistensi status sosial ini tujuannya hanya satu yakni untuk mendapatkan legitimasi sosial dari masyarakat yang berdasarkan hal itu kemudian bisa digunakan untuk mengakses sumberdaya ekonomi, sosial, politik dan budaya untuk kepentingan mengangkat dan atau mempertahankan status sosialnya.
Struktur sosial masyarakat modern sebenarnya tidak jauh berbeda dengan struktur masyarakat zaman dulu yang sangat kental dengan feodalisme, hanya yang berbeda adalah nilai-nilai sosial yang hidup di masyarakat yang saat ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia, misalnya gaya hidup (life style).
Saat ini orang akan dianggap punya status sosial tinggi ketika hidup dengan gaya hedonisme, rumah dengan harga fantastis, mobil mewah, jam tangan dan perhiasan mewah, plesir ke seluruh penjuru dunia, makanan, pakaian sampai perawatan tubuh yang berkelas.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal ini, karena setiap orang ingin menunjukkan eksistensi status sosialnya dimasyarakat, seperti yang dikatakan Abraham Maslow (Theory of Human Motivation, 1943) bahwa tingkat terakhir dari kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri, hanya kemudian yang menjadi masalah adalah orang akan berlomba lomba mencapai status sosial ini dengan menghalalkan segala cara termasuk cara² yang tak lazim dan bertentangan dengan norma yang berlaku pada sistem sosial di masyarakat.
Seringkali masyarakat tertipu dengan status sosial seseseorang karena sejatinya kita memang hidup dalam sistem sosial yang masih kuat memegang nilai dan simbol sosial yang sudah barang tentu menjadi area yang luas bagi mereka yang ingin mendapatkan keuntungan dan privalages lainnya dari pengakuan terhadap status sosial itu.
Banyak contoh kasus yang terjadi dimasyarakat yang kemudian bisa menjadi pelajaran bagi kita betapa pentingnya menilai seseorang tidak didasarkan pada status sosialnya. Di beberapa negara, status sosial dalam konteks feodal-tradisionall seperti ini sudah mulai mengalami pergeseran (shift paradigm).
Penilaian terhadap kapasitas seseorang lebih diarahkan pada nilai-nilai sosial yang jauh lebih rasional dan moderat misalnya profesionalisme, komitmen yang kuat, integritas serta kecerdasan dalam arti kemampuan utntuk menganalisa dan memecahkan masalah (bukan gelar akademik yang berderet deret).
Dulu bisa jadi orang yang menjadi owner atau CEO sebuah perusahaan adalah orang yang sebelumnya kaya raya atau keturunan miliarder, tapi sekarang tidak lagi lihat saja owner-nya facebook, google, apple, microsoft dan raksasa perusahaan lainnya yang dipimpin oleh orang-orang muda dan profesional.dibidangnya yang sebelumnya bukan siapa², namun karena kerja keras dan komitmen yang kuat mereka mampu mewujudkannya.
Demikian pula halnya dengan politik dan kekuasaan. Dulu jika ingin mendapatkan akses ke kekuasaan paling tidak seseorang harus memiliki afiliasi politik tertentu dengan penguasa, namun seiring dengan berkembangnya demokrasi saat ini setiap orang bisa saja menjadi pemimpin politik.dan menjadi bagian dari sistem politik, namun celakanya seringkali penghalalan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan politik seringkali menjadi momok bagi demokrasi.
Hal ini kembali lagi ke konsep status sosial yang dijelaskan sebelumnya bahwa orang akan berlomba-lomba mencapai status politik tertentu dengan menghalalkan segala cara bisa melalui uang, akses kekuasaan dan sumberdaya politik lainnya atau memanfaatkan status sosialnya yang memang sengaja dibangun untuk itu.
Karena demokrasi ditentukan oleh rakyat (vox populi.vox dei) sejatinya rakyat selaku pemegang kedaulatan harus bijak dalam menentukan pilihan politik dan memilih pemimpin politiknya, jangan hanya dinilai berdasarkan status dan simbol sosialnya saja, tetapi jauh lebih penting dari itu yakni penilaian secara rasional seperti profesionalisme, komitmen yang kuat, integritas yang teruji serta kemampuan untuk menganalisa dan memecahkan masalah yang dihadapi, serta kepemimpinan yang amanah.
Konklusi Status sosial memang akan terus menjadi bagian penting yang membentuk sistem dan struktur sosial di masyarakat dan untuk saat ini hal itu masih menjadi sebuah keniscayaan, kendati demikian kemajuan peradaban manusia pada akhirnya akan membawa pergeseran nilai yang akan berpengaruh sangat signifikan bagi terbentuknya sistem dan struktur sosial baru yang mungkin jauh akan lebih maju penilaiannya terhadap.eksistensi manusia sebagai aktor utama dalam sistem dan struktur sosial.
Keberadaan status sosial dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita untuk memahami dan menilai manusia sebagai manusia tanpa membedakan status dan simbol² sosial yang dibuat dan dilekatkan oleh kita sendiri, jadilah manusia seperti yang disampaikan Nabi Rasulullah SAW dalam haditsnya, “khoirrunnaas anfauhum lin naas” (sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya) HR. Ahmad. (***)