Oleh : Budi Kurniawan
Samuel P. Huntington dalam bukunya Clash Of Civilization, menyatakan bahwa pasca era perang dingin, benturan antar peradaban di dunia tidak lagi didasari oleh pertetangan atas perebutan wilayah, kekuatan ekonomi bahkan pertentangan ideologi dan platform politik, tetapi akan lebih diwarnai oleh pertentangan yang didasari oleh identitas etnis, tradisi, budaya bahkan agama.
Tesis ini kemudian memicu banyak perdebatan di kalangan sarjana sampai kalangan masyarakat luas. Sebagian kalangan menilai tesis Huntington ini dipicu oleh kekhawatiran barat akan munculnya kompetitor baru (pasca tumbangnya Uni Soviet yang menjadi simbol rivalitas blok barat dan blok timur selama beberapa dekade) yang berpotensi menumbangkan menara gading peradaban yang sudah mereka bangun hingga saat ini.
Peradaban sendiri ia maknai sebagai entitas kultural yang mencakup unsur wilayah, komunitas etnis, kebangsaan, dan kelompok religius yang memiliki budaya yang distinct/kaku pada tingkatan yang berbeda dalam heterogenitas kultural (Huntington, 1993: 23-4).
Dalam konteks definisi peradadan, apa yang diungkapkan Huntington hanya terbatas melihat manusia sebagai sebuah entitas kelompok yang distinct, membagi manusia kedalam suatu entitias tertentu yang dilabeli dengan simbol persamaan yang membuatnya berbeda dengan entitas lainnya sehingga tentunya mudah dibenturkan antara satu dengan yang lainnya.
Definsi ini terlalu sempit, dalam konteks yang lebih luas peradaban adalah pencapaian perkembangan manusia yang setiap masa dalam perkembangannya ditandai oleh kemajuan yang dicirikan melalui kemajuan intelegensi, pola pikir, sistem sosial, kekayaan budaya dan seni serta kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup manusia.
Semakin maju peradaban seharusnya kualitas hidup manusia dan pencapaian manusia akan semakin maju. Jika kemudian kita melihat peradaban adalah sebagai bentuk kemajuan manusia dalam peningkatan kualitas hidupnya, tentu pertentangan antar peradaban menjadi tidak bermakna.
Apa yang disarikan huntington dalam tesisnya didasarkan paling tidak didasarkan pada enam sebab yang dalam tulisan ini diberi argumentasi kritis, yakni Pertama, perbedaan di antara peradaban tidak saja nyata, melainkan juga mendasar.
Peradaban-peradaban ini dibedakan dari sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang terpenting— agama. Orang-orang dari peradaban yang berbeda-beda memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat hubungan antara manusia dan Tuhan, individu dan kelompok, negara dan warga negara, serta kepentingan relatif dari hak, tanggung jawab, kebebasan dan wewenang, kesetaraan dan hierarki yang menjadi lebih fundamental daripada ideologi politik oleh sebab perbedaan-perbedaan ini merupakan produk dari berabad-abad.
Dalam konteks ini, Huntington melupakan bahwa benturan antar peradaban bisa dan masih saja dipicu oleh kepentingan ekonomi, perebutan sumberdaya, wilayah kekuasaan dan pengaruh yang memang kadang-kadang membawa simbol kesamaan sejarah, bahasa, budaya dan tradisi serta agama yang digunakan sebagai “alasan pembenar aksi” atas terjadinya konflik.
Lihat saja apa yang dilakukan oleh Israel atas rakyat Palestina saat ini. Dengan menggunakan simbol yang dinyatakan oleh Huntington, Israel melakukan pendudukan sepihak atas wilayah Palestina yang tujuannya adalah untuk memperluas wilayah kekuasaan Israel dan menafikan hak-hak warga sipil Palestina dan hingga saat ini sejak tahun 1947 terus berupaya memperluas okupansinya atas wilayah Palestina, bahkan penyerangan dan pengrusakkan dilakukan sampai ke Masjid Al Aqsa yang merupakan simbol tempat suci kedua bagi umat Islam setelah Masjidil Haram dan Mekkah. Hal ini semata-mata dilakukan untuk menunjukkan dominasi secara arogan oleh Israel dan zionismenya atas rakyat Palestina dengan mengatasnamakan sejarah, budaya dan agama.
Kedua, dunia menjadi semakin mengecil. Meningkatnya interaksi di antara orang dengan peradaban yang berbeda meningkatkan kesadaran peradaban (civilization consciousness) dan kewaspadaan (awareness) terhadap persamaan dan perbedaan di dalamnya. Dalam konteks ini, jika kemudian peradaban lebih didefinisikan sebagai meningkatnya pengetahuan dan kesadaran manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya, tentu pertentangan antar peradaban menjadi semakin tidak bermakna.
Saat ini, kemajuan teknologi informasi malah jauh merubah tatanan dunia dimana identitas negara bangsa, sejarah, bahasa, budaya, tradisi, dan yang terpenting— agama tidak lagi menjadi penghalang interaksi antar manusia, bahkan menjadi unsur pengikat antar manusia.
Orang Jepang bisa dengan mudah menjadi seorang penganut muslim yang taat, atau orang tionghoa bisa saja menikah dengan orang afrika yang jelas jauh berbeda dari sejarah, tradisi, budaya, bahasa bahkan warna kulit. Saat peradaban manusia semakin maju, tentu penilaian manusia terhadap manusia lainnya tidak lagi didasarkan atas unsur-unsur subjektif seperti yang disampaikan oleh Huntington tetapi lebih melihat manusia sebagai manusia yang sederajat, inilah yang menjadi ciri semakin majunya peradaban manusia. Huntington mencoba menggiring kita kedalam pemahaman yang sempit dan pesisme tentang peradaban manusia kedepannya.
Ketiga, proses modernisasi ekonomi dan perubahan sosial di seluruh dunia memisahkan orang dari identitas lokal yang telah berlangsung lama (longstanding cultural identity). Hal ini melemahkan negara-bangsa sebagai sumber bagi identitas karena ikatan hubungan antar manusia tidak lagi disatukan oleh spirit of nasionlism tetapi lebih kepada rasa karena memiliki kesamaan identitas sejarah, bahasa, budaya, tradisi dan bahkan agama.
Jika kemudian dalam menyusun tesisnya Huntington melihat Indonesia, mungkin pemahamannya tentang pertentangan antar peradaban (clash of civilization) menjadi berbeda.
Negara Bangsa masih sangat diperlukan untuk menjamin pencapaian cita-cita bersama sebagai bentuk komitmen atas kontrak sosial warga negara dengan negaranya yang disepakati bersama ketika pertama kali sebuah negara dibentuk. Indonesia mungkin satunya-satunya negara unik didunia, yang dibangun diatas perbedaaan dan kemajemukkan yang sangat tinggi baik suku, agama, ras, bahasa, budaya dan warna kulit yang hingga saat ini masih tetap dipersatukan oleh rasa senasib dan sepenanggungan sebagai sebuah bangsa.
Indonesia bukan negara Islam kendati memiliki mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia. Di Indonesia juga banyak suku, ras, bahasa yang memiliki akar budaya yang sama, namun apakah mereka ingin membentuk negara baru atas dasar persamaan itu? Jawabannya tentu tidak
Keempat, pertumbuhan kesadaran peradaban (civilization-consciousness) ini ditunjang oleh peran ganda Barat. Di satu sisi, Barat berada pada puncak kekuasaan yang kemudian menghasilkan adanya bentuk-bentuk de-westernisasi yang berupaya return to the roots yang kerap melanda peradaban-peradaban non-Barat.
Dari sekian alasan yang diungkapkan Huntington, alasan ini jauh lebih logis sebagai penyebab terjadinya benturan antar peradaban dan konflik dunia saat ini. Hegemoni barat selama berabad-abad telah menjadi alasan utama kenapa barat lebih mencitrakan diri sebagai peradaban manusia yang paling tinggi, unggul dan maju. Ketakutan Barat terhadap tergerusnya hegemoni yang sudah berlangsung lama ini menjadi alasan utama munculnya pertentangan dan konflik peradaban.
Lihat saja yang terjadi Rusia dan Ukraina saat ini dimana salah satu penyebab utamanya adalah penolakan Rusia atas rencana perluasan pengaruh barat ke negara bekas pecahan Uni Soviet atau betapa massivenya China memperkuat negaranya melalui ekpansi teknologi, ekonomi, sosial, budaya bahkan pertahanan semata-mata tujuannya untuk menyaingi hegemoni barat yang semakin berkembang dan menanamkan pengaruhnya di kawasan Asia, atau bagaimana revolusi budaya Korean pop (K-Pop) sebagai simbol new pop culture dan perkembangan industri film di India yang juga ditujukan untuk menyaingi industri budaya barat, atau bagaimana Iran dan Korea Utara yang menjadi “musuh abadi” barat yang selalu membangun citra perlawanan, semata-mata ditujukan untuk meruntuhkan hegemoni barat. Bisa jadi kecenderungan potensi konflik global saat ini dipicu oleh perlawanan terhadap hegemoni barat untuk menjadi penyeimbang kekuatan peradaban dunia yang akan membentuk tatanan dunia baru.
Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya dan keyakinan lebih sukar berubah dan dikompromikan serta disatukan daripada perbedaan ideologi, politik atau ekonomi. Misalnya saja seseorang bisa saja menjadi separuh komunis separuh demokrat tetapi seseorang akan jauh sulit menjadi separuh Islam separuh Yahudi. Kemajuan peradaban saat ini memungkinkan interaksi antar manusia menjadi lebih dinamis.
Perbedaan keyakinan dan kepercayaan tentu masih tetap ada, namun dalam sejarah peradaban manusia perbedaan keyakinan sejatinya adalah perbedaan yang given dan manusiawi karena hal ini menyangkut soal keyakinan dan kerpecayaan serta hubungan manusia dengan Tuhannya. Perbedaan keyakinan antar manusia sebenarnya tidak pernah menjadi alasan utama terjadinya konflik didunia sejak awal peradaban manusia, karena sejatinya semua agama mengajarkan cinta, kasih dan kesetaraan hubungan antar manusia.
Namun yang lebih sering terjadi adalah konflik yang mengatasnamakan agama dan menggunakan simbol-simbol agama dengan tujuan untuk merebut kekuasan, pengaruh, sumberdaya dan wilayah. Simbol-simbol agama kerap digunakan karena lebih ampuh untuk membangun militansi dan loyalitas dari para pengikutnya. Seandainya Huntington bisa melihat manusia sebagai manusia tanpa melekatkan simbol-simbol subjektifnya, tentu perbedaaan budaya dan keyakinan akan menjadi lebih mudah dikomporomikan sepanjang ada kesamaan tujuan (common goals) bukan didasarkan atas kesamaan keyakinan (common beliefs)
Keenam dan yang terakhir, peningkatan regionalisme ekonomi dan kerjasama antar negara yang semakin memperkuat kesadaran peradaban (civilzations-consciousness), dikatakan lebih berhasil jika berakar dalam kesamaan peradaban. Huntington mencontohkan kerjasama Uni Eropa yang dibangun atas dasar kesamaan peradaban yang bersumber dari Kekristenan Barat.
Alasan ini juga terlalu absurd. Huntington tidak melihat bahwa kerjasama regional tidak semata-mata dibangun atas dasar kesamaan peradaban, namun lebih pada kesamaan mempertahankan kepentingan bersama dalam hubungan yang saling mengutungkan dan saling menghormati (mutual respect) baik dari aspek ekonomi, politik, sosial budaya dan pertahanan keamanan.
Uni Eropa tidak dibentuk atas dasar persamaan peradaban, tidak semua negara-negara eropa mau masuk menjadi negara anggota Uni Eropa. Inggris contohnya, yang keluar dan sampai saat ini tidak mau bergabung lagi dengan Uni Eropa serta menggunakan mata uang tunggal euro sejak 1 Januari 2021 (Brexit-British Exit), Inggris tetap bertahan sebagai entitas negara bangsa.
Apa kurangnya bagi Inggris soal peradaban Barat, bahkan Inggris adalah salah satu negara yang menjadi simbol kemajuan peradaban barat. Kerjasama regional ASEAN misalnya, apakah dibangun atas dasar persamaan peradaban, jawabannya jelas tidak. Seluruh Negara anggota ASEAN jelas berbeda secara sejarah, budaya, bahasa, bahkan agama—walaupun tidak dipungkiri ada ada beberapa negara serumpun yang sama—antara satu dengan lainnya. Kerjasama regional ASEAN dibangun atas dasar kesamaan kepentingan bersama dalam hubungan antar negara yang saling menguntungkan dan saling menghormati, tidak lebih dari itu.
Benturan antar peradaban tetap akan menjadi bagian dalam pembentukan peradaban manusia dari masa ke masa. Namun ketika peradaban diartikan sebagai upaya manusia untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidupnya, tentu benturan antar peradaban menjadi tidak relevan untuk diperdebatkan.
Sepanjang sejarah peradaban manusia hingga saat ini, konflik dan benturan antar peradaban lebih banyak disebabkan oleh faktor perebutan atas kekuasaan, pengaruh, sumberdaya dan okupansi wilayah, namun sering yang dijadikan elemen utama penggeraknya adalah simbol-simbol subjektif yang hidup dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat seperti kesamaan sejarah, budaya, bahasa, tradisi, suku hingga agama.
Mengapa? Karena identitas subjektif seperti ini sangat mudah diprovokasi dalam rangka membentuk militansi dan loyalitas untuk melaksanakan aksi ataupun resistensi. Manusia bukan dicitrakan seperti keunggulan ras arya atas ras-ras lainnya didunia seperti ditulis Hitler dalam bukunya Mein Kampf, tetapi proposisi Abraham Lincoln dalam pidatonya di Gettysburg tahun 1863 yang menolak perbudakan dan menyatakan bahwa semua manusia diciptakan sama dan sederajat jauh lebih tepat.
Sejatinya memang manusia sebagai elemen utama pembentuk peradaban diciptakan berbeda-berbeda, namun bukan berarti dengan perbedaan itu manusia bisa mendeskripsikan dirinya lebih unggul dari manusia lainnya tetapi perbedaan itulah yang membuat manusia bisa hidup berdampingan (co-existence) secara damai sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al Hujurat :13 “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu.”(***)